Curhatan Hati Seorang Perempuan yang Berjuang Hidup di Afghanistan di Era Pemerintahan Taliban

Kabul - Bagi Zaigul, ibu rumah tangga 32 tahun dari Provinsi Nangarhar yang tinggal di kamp Nasaji untuk pengungsi dalam negeri di dekat ibu kota, Kabul, hidup memang telah sulit sebelum Taliban mengambil alih kekuasaan pada 15 Agustus 2021.

Dia bekerja sebagai PRT sementara suaminya, Nasir, bekerja sebagai buruh bangunan demi menghidupi tujuh anak-anak mereka, tapi sekarang mereka tidak lagi bekerja.

Sejak Taliban kembali berkuasa, Afghanistan telah terjun ke dalam krisis ekonomi yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, di mana bank-bank kehabisa uang tunai dan para pegawai negeri tidak pernah digaji selama berbulan-bulan.

Pembekuat miliaran dolar aset Afghanistan oleh Amerika Serikat dan penghentian bantuan dana oleh lembaga keuangan internasional telah menyebabkan hampir runtuhnya sistem perekonomian Afghanistan yang rapuh yang dirusak oleh peperangan dan pendudukan selama puluhan tahun.

Zaigul, seperti jutaan orang Afghanistan lainnya, tidak punya pekerjaan karena sebagian besar kegiatan ekonomi terhenti sejak runtuhnya pemerintahan Presiden Ashraf Ghani yang didukung Barat dan penarikan pasukan AS dari negara itu pada Agustus lalu.

"Masalah yang paling mendesak adalah kesulitan keuangan," ujar Zaigul, saat dia duduk di lantai rumahnya yang hanya satu kamar, dikelilingi anak-anaknya.

"Anda bisa hidup tanpa kebebasan, tapi Anda tidak bisa hidup kalau Anda tidak punya apapun untuk dimakan," katanya kepada Al Jazeera, dikutip Jumat (14/1).

PBB pada Selasa menyampaikan, sekitar 22 juta orang, lebih dari setengah populasi Afghanistan, menghadapi kelaparan akut. Diperlukan bantuan hampir USD 5 miliar untuk mencegah bencana kemanusiaan di Afghanistan

Seperti banyak keluarga di Afghanistan, pendapatan rumah tangga Zaigul dan Nasir hilang dalam beberapa bulan terakhir.

Dengan banyaknya proyek bangunan yang dihentikan setelah Taliban berkuasa, dan banyak keluarga tidak bisa membayar gaji PRT, pasangan itu kini pengangguran.

"Tidak ada dari kami yang bisa mendapatkan kerja lagi. Kami kekurangan sebagian besar kebutuhan mendasar - makanan, baju hangat, dan penghangat untuk membuat rumah kami tetang hangat," kata Zaigul, sembari melilitkan syal hitam tipis di pundaknya.

Dua putrinya yang remaja meringkut di dekatnya, sementara anaknya yang paling kecil, masih balita bernama Sana, duduk memainkan kain perca di belakang. Walaupun dingin, kakinya telanjang, dan tidak memakai baju yang cukup hangat.

Rumah satu kamar Zaigul kosong kecuali ada beberapa matras usang yang digelar di lantai sperm yang dingin itu. Pada siang hari, keluarga ini menggunakan matras itu untuk duduk, sebelumnya mengubahnya menjadi kasur pada malam hari.

Di pojok, kantong tepung kosong diletakkan di dekat kompor berkarat yang dia gunakan untuk membuat roti pada malam hari.

Zaigul mengenang hidup sebelum Taliban berkuasa, mengatakan walaupun dia miskin, keluarganya memiliki pendapatan walaupun kecil dan sumbangan dari NGO internasional yang bisa membantunya selama musim dingin.

"Tapi sekarang, bahkan (bantuan) itu terhenti," sesalnya.

"Anak-anak saya pergi mengumpulkan sampah yang kami berusaha jual, atau kertas untuk dibakar untuk menghangatkan kami.

Kadang-kadang, saya berpikir untuk pergi ke jalan mengemis," lanjutnya, air mata timbul di sudut matanya.

Sanksi Barat telah memaksa NGO internasional menghentikan operasionalnya di negara itu.

Tantangan perempuan Afghanistan.

Seperti Zaigul, Eloom Bibi (35 ), janda dan ibu enam anak dari desa Shemol di pinggiran Jalalabad, juga sangat bergantung pada sumbangan setelah suaminya yang bekerja sebagai polisi meninggal empat tahun lalu.

"Amal dari orang-orang sangat membantuku. Tapi sekarang, tidak ada dan saya paham kenapa. Orang-orang pengangguran," ujarnya.

"Ada ribuan janda di negara ini yang biasanya bekerja. Sekarang Taliban telah mengambil alih negara, semua perempuan diminta diam di rumah."

"Apa yang bisa dilakukan seorang perempuan untuk membantu keluarganya" tanyanya.

Bibi telah berjuang bisa membayar uang kontrakan, membeli makanan untuk anak-anaknya dan membayar biaya sekolah mereka.

"Segalanya lebih baik sebelumnya," ujarnya seraya memeluk tiga putrinya.

"Anak-anak saya bersekolah, yang laki-laki dan perempuan. Kami biasanya menerima sumbangan, dan perempuan bebas," lanjutnya.

Menurut pengamat independen Afghanistan, Ahmed-Waleed Kakar kepada Al Jazeera, tantangan utama bagi perempuan di seluruh negeri adalah keuangan dan ekonomi.

Bagi perempuan Afghanistan, tantangan ekonomi itu disertai pembatasan yang lebih ketat atas kebebasan, lapangan kerja, pendidikan, dan bahkan pergerakan mereka.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sekitar 103 Warga Perumahan di Daerah Cikarang Positif Covid-19, Satu Kompleks Melakukan Lockdown

Beberapa Temuan Fakta Unik Hewan 2021

Para Ilmuwan Menyebutkan Nenenk Moyang Dinosaurus Ganas T-rex Ternyata Sangat Kecil, Tak Sampai 1 Meter