Mengetahui Sejarah Pulau Kemaro di Palembang Jadi Camp Tahan Politik G30S

PalembangHari ini bangsa Indonesia mengenang peristiwa kelam 56 tahun yang lalu, pemberontakan G30S/PKI. Pemberontakan terjadi pada tahun 1965 yang menyeret perubahan besar pemerintahan dari orde lama ke orde baru.

Peristiwa tahun 1965 ini juga pengulangan dari Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) oleh Muso tahun 1948 yang gagal. Sejak PKI berdiri tahun 1914, pemberontakan tahun 1965 menyebabkan tidak saja PKI sebagai sebuah partai terlarang, namun menjadikan bangsa Indonesia alergi dan anti terhadap segala hal berbau komunis.

Masyarakat Palembang mengenal dan mengenang peristiwa G30S/PKI yang dihubungkan dengan Pulau Kemaro. Sebuah pulau yang tidak saja sebagai identitas multikultural Palembang karena keberadaan etnis dan bangunan agama di sana, tetapi juga dilekatkan dengan peristiwa pemberontakan PKI tahun 1965.

Menurut sejarawan Palembang Dedi Irwanto, Pulau Kemaro ini merupakan salah satu kamp konsentrasi yang digunakan sebagai tempat tahanan politik pelaku pemberontakan G30S/PKI di Palembang. Sisa kamp tahanan ini masih ada bekasnya di sisi timur Pulau Kemaro walaupun kini hanya bekas puing kamp dan semacam jalan masuk seperti gua.

"Pulau Kemaro menjadi tempat tahanan politik dari pemberontakan G30S/PKI di Palembang," ungkap Dedi kepada merdeka.com belum lama ini.

Pagi hari tanggal 30 September 1965, masyarakat Indonesia digemparkan dengan peristiwa pemberontakan PKI lewat rilis RRI. Di Jakarta misalnya dibentuk Dewan Revolusi yang dilakukan untuk mengambil ahli fungsi kabinet.

Pada saat ini dimulai penculikan pada 6 jenderal dan 1 orang kapten. Pasukan Cakrabirawa yang dipimpin oleh Letkol Untung mengamankan dan menculik Jenderal Yani, S Parman, MT Haryono, Suprapto, Sutoyo dan DI Panjaitan.

Kemudian Kapten Pierre Tendean dan Ade Irma Suryani Nasution yang menjadi salah sasaran ketika berusaha menculik Jenderal Nasution. Para jenderal ini tidak saja diculik dan disiksa namun dibunuh dan dimasukan dalam sebuah lubang buaya di Jakarta.

Selain pembunuhan para jenderal tersebut, yang menarik dari peristiwa G30S/PKI itu adalah peristiwa pasca pembubaran PKI dan ormas-ormasnya. Fase ini sangat menyedihkan dan menjadi sisi kelam bagi orang-orang yang dituduh terlibat dalam peristiwa itu.

Demikian juga di Palembang. Rentetan peristiwa G30S/PKI 1965 memakan banyak korban. Baik mereka yang terlibat maupun yang dituduhkan, semua ditangkap dan sebelum diproses lebih lanjut mereka ditahan pada kamp tahanan di Pulau Kemaro.

"Keberadaan kamp ini tidak banyak yang tahu sebenarnya karena waktu yang sudah lama berlalu," kata dosen Pendidikan Sejarah Universitas Sriwijaya Palembang itu.

Dijelaskan, Pulau Kemaro secara administratif masuk ke Kelurahan 1 Ilir, Palembang. Pulau yang terletak di tengah Sungai Musi ini seolah terbagi tiga, yakni bagian barat yang terdapat Kelenteng Hong Tjing Bio dan Pagoda, bagian tengah pemukiman penduduk dan area persawahan, serta bagian timur yang seakan terabaikan dan tak berpenghuni.

Bagian timur inilah pada daerah paling ujungnya terdapat kamp tahanan politik tersebut. Salah satu alasan kenapa Pulau Kemaro dipilih karena akses transportasi masih sangat sulit waktu itu sehingga pulau ini terlihat seperti terisolasi.

"Walau posisinya sangat dekat dengan pusat kota, pulau ini menjadi penempatan para tahanan politik PKI sementara di Palembang dalam kurun waktu 1965 sampai akhir 1967," kata dia.

Semua tahanan politik yang dituduhkan adalah mereka yang menjadi pengurus, anggota, simpatisan, dan orang-orang yang terlibat dalam organisasi-organisasi di bawah PKI di Sumsel waktu itu. Jika mereka dalam interogasi aparat masuk dalam kategori berat, maka akan dikirim ke pembuangan terakhir di Pulau Buru, Maluku.

Berdasarkan penelusurannya dari salah seorang yang dituduh dan pernah ditahan di sana, Dedi menyebut banyak juga yang dieksekusi langsung di tempat di Pulau Kemaro ini.

"Tak heran para penyelam pencari harta karun Sungai Musi jika menyelam di location ini banyak yang menemukan tengkorak manusia," tuturnya.

Dari informasi yang digalinya, kamp tahanan politik di Pulau Kemaro dulunya milik PT Waskita Karya. Di sana ada dua bedeng berukuran masing-masing 7x20 meter, berbentuk L. Bedeng ini dulu merupakan tempat tinggal buruh PT Waskita sekaligus tempat menyimpan besi ketika ikut membangun Jembatan Ampera, Pusri, dan gedung-gedung lain di Palembang sebelum 1965.

"Dua bedeng ini lantai bersemen kasar, tiang penyangga, berdinding dari papan jarang. Beratap namun tidak memakai plafon. Kalau tidak keliru hanya ada satu pintu. Jadi dapat dibayangkan bedeng ini ketika difungsikan sebagai tahanan politik tahun 1965-1967, pasti sangat penuh sesak," kata dia.

Bedeng pada kamp ini hanya ada satu kran air, satu bak mandi dan sebaris WC yang hanya ditutup satu meter papan kayu. Selain itu barak ini dibedakan berdasarkan blok.

Blok A untuk tahanan ringan yang bisa bekerja membantu petugas. Ini biasanya banyak tahanan politik yang dibebaskan. Blok B tahanan berstatus berat dan Blok C ruang interogasi, penyiksaan, dan eksekusi langsung. Ada juga Blok D khusus tahanan perempuan dan anak-anak.

"Banyak tahanan politik yang meninggal karena keterbatasan makanan, hanya dalam satu bulan sejak 1965 itu ada sekitar 25 orang lebih yang meninggal, semua mayatnya dibuang ke Sungai Musi," jelasnya.

Mengenai jumlah tahanan politik yang ditahan di sana, Dedi menyebut tidak diketahui persis. Ketika itu Pulau Kemaro dijaga ketat aparat militer dan tertutup untuk umum. Sepanjang area kamp ini dipasang pagar kawat berduri.

Menurut cerita penduduk setempat, mereka tidak diperbolehkan mendekati gardu kamp tahanan. Getek perahu yang melintas di depan kamp jika masuk 200 meter di area kamp, geteknya akan ditembak oleh petugas yang ada di 4 gardu sekitar kamp.

"Ada 6 pos yang dijaga oleh 4 orang anggota polisi milter yang ditempatkan di sana," ujarnya.

Tahanan politik yang datang ke Pulau Kemaro berasal dari penjuru Sumsel. Mereka diangkut menggunakan gerbong barang kereta api atau truk. Berjubel dan dikunci dari luar sehingga panas dan pengap. Banyak tahanan ini yang mati sebelum tiba di kamp.

Nah, tahanan yang mati ditenggelamkan di Sungai Musi. Ketika keluarga korban berusaha mencari setelah masa aman, banyak yang tidak menemukan kuburnya, selain yang memang mati di perjalanan.

"Pada kamp ini sebenarnya mereka banyak yang diharuskan mati dan jangan ada yang lolos karena khawatir akan membongkar rahasia dan kekejaman yang dilakukan kepada mereka," kata dia.

Sejak tahun itu, tahanan politik tidak saja dari Sumsel, namun mulai juga dari luar daerah. Tahanan ini datang secara berkelompok dari sekitar Sumsel seperti Jambi, Bengkulu, Lampung, dan Bangka Belitung.

Menjelang 1 Agustus 1966, dilakukan pembantaian besar-besaran terutama untuk tahanan berstatus berat. Alhasil hanya menyisakan tahanan yang tidak statusnya ringan.

Golongan C yang merupakan simpatisan yang tidak tahu apa-apa mengenai peristiwa G30S/PKI ketika mati ditenggelamkan di Sungai Musi. Mayatnya mengapung dan menjadi santapan ikan.

"Pada saat itu hingga tahun 1968, banyak penduduk yang tidak mau makan ikan seperti ikan baung, juaro hingga udang yang berasal dari Sungai Musi," kata Dedi.

Dari banyaknya tahanan politik yang mati di kamp hingga 1967, hanya ada sekitar 6 orang yang selamat. Mereka dipindahkan ke Detasemen Palembang.

"Begitu kelamnya kisah di Pulau Kemaro hingga saat ini bagian ujung timur tetap tidak berpenghuni dan angker," kata dia.

"Pada saat yang sama justru Pemerintah Kota Palembang membangun dan mempercantik bagian baratnya dan sedang berupaya membangun bagian tengahnya, walau dengan penuh sengketa kepemilikan," sambungnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sekitar 103 Warga Perumahan di Daerah Cikarang Positif Covid-19, Satu Kompleks Melakukan Lockdown

Beberapa Temuan Fakta Unik Hewan 2021

Para Ilmuwan Menyebutkan Nenenk Moyang Dinosaurus Ganas T-rex Ternyata Sangat Kecil, Tak Sampai 1 Meter